Tidak
disangka-sangka jika hari yang begitu cerah akan turun hujan begitu derasnya.
Aku tak berbekal apapun dari rumah. Hanya berbekal tas yang berisi Handphone,
powerbank dan earphone serta sneakers kumel yang
selalu menemani langkahku kemanapun aku pergi. Aku melihat jam ditangan
kiriku, ternyata sudah menunjukkan pukul setengah enam malam. Aku masih
terduduk manis di bangku warung depan kampusku. Menunggu jemputan yang dari
tadi tak kunjung terlihat. Aku merasa hari ini adalah hari yang terburuk dalam
sejarah hidupku. Ini adalah pertama kalinya aku diberi cuaca palsu oleh Bumi,
setengah jam menunggu dengan rasa kedinginan karena hembusan angin yang
begitu kencang, handphone lowbatt dan sendirian di depan warung yang tutup. Tak
lama kemudian sebuah mobil menepi di depan warung. Kakakku turun dari
mobil dengan membawakan payung untukku.
”Bi, maafin
kakak ya. Kakak terlambat jemput kamu.” Kak Bima meraih tanganku.
“iya kak
gapapa.” Jawabku sambil masuk kedalam mobil.
Bintang. Itulah namaku. Kakak-kakak dan
teman-temanku lebih senang memanggilku dengan sebutan “Bi”. Aku memiliki dua
orang kakak laki-laki. Billy adalah kakak pertamaku dan Bima adalah kakak
keduaku. Kami bertiga memiliki nama depan yang sama, yakni berawalan
huruf B. Bukan berarti kami adalah anak kembar. Umur kami hanya selisih dua
tahun. Kak Billy adalah seorang manager di sebuah perusahaan. Kak Bima adalah
seorang mahasiswa yang sedang menempuh semester akhir sedangkan aku masih
menempuh semester 4. Aku dan Kak Bima tidak kuliah di universitas yang sama.
Kami tinggal bertiga dengan ditemani seorang pembantu sekaligus pengasuh yang
sedari kecil sudah menjadi pengasuhku dirumah. Papa dan mama sudah lama
berpisah. Diantara kami bertiga, tidak ada seorang pun yang ikut dengan mama
ataupun papa. Melainkan kami tinggal di rumah yang kak Billy beli waktu itu.
Sekarang, Kak Billy adalah kepala keluarga kami. Mama dan papa sibuk dengan
urusan masing-masing. Maka dari itu, aku sejak kecil sudah dibawah asuhan
pengasuh dan kedua kakakku.
Seperti
biasanya, kak Bima senang sekali mengejutkanku ketika aku sedang melamun.
“Bi” dengan
menepuk pundakku. “kamu kenapa sayang? Murung gitu mukanya? Kamu galau? Atau
kamu habis diputusin pacar? hehe” goda kak Bima.
Aku menoleh
ke arah kak Bima, “kakak apa’an sih? Selalu deh. Ngga kenapa-kenapa kok. Hm,
Kak, makan dulu yuk. Laper nih.” Aku mengalihkan pembicaraan.
“hmm, tuh
kan mengalihkan pembicaraan. Yasudah, kita makan. Kakak juga laper. Kita ke
tempat makan biasanya aja ya.” Kak Bima menawarkan.
“hm, iya
deh.” Aku mengiyakan.
Disepanjang perjalanan, aku hanya melamun, melamun
dan melamun. Ketika berhenti di depan lampu merah, aku melihat seorang bapak
tua dengan menggunakan plastik sebagai tudung kepala sedang menggandeng anak
perempuannya dibawah derasnya hujan menjajakan dagangannya kepada setiap
pengendara. Aku tertegun melihatnya. Aku iri dengan anak perempuan itu. Aku
disini tumbuh hanya dengan kedua kakakku dan pengasuhku tanpa adanya mama dan
papa disisiku. Papa dan mama tak pernah menjengukku. Hanya sekedar menanyakan
kabar lewat telepon Kak Billy.
“beruntung
banget ya gadis kecil itu. Masih bisa kumpul dengan keluarganya, walaupun hanya
dengan seorang ayah saja.” aku bergumam dan menyeka airmata yang mengalir
di pipi.
“Bi, kamu
gapapa kan?” kakak mengejutkanku lagi.
Aku menoleh
ke arah kakakku dengan air mata yang masih membekas di pipi, “hm, gapapa kok kak.
Kak, udah lampu hijau tuh”, aku menyongsongkan senyum dihadapan kakakku. Kak
Bima segera melajukan mobilnya.
“Dik, kamu
kenapa? Cerita dong ke kakak. Tumben banget kamu seperti ini. Ngga biasanya lho
kamu begini. Ada apa? Hm?”. Kak Bima masih terus saja ingin tahu.
“Nah itu
warungnya. Cepetan minggir kak, aku udah laper banget nih.” Aku benar-benar
tidak ingin menjawab pertanyaan kakakku.
“maafin
Bintang ya kak”, Gumamku dalam hati.
Aku adalah tipe orang yang tidak begitu
terbuka tentang masalah apapun. Hanya saja jika dalam keadaan terdesak dan aku
tidak sanggup menyelesaikannya, barulah aku meminta pendapat kakakku agar
permasalahannya cepat terselesaikan. Aku hanya tidak ingin menjadi beban bagi
mereka semua selagi aku masih bisa menyelesaikannya sendiri.
“yeay, makan
makan.” Ucapku. Aku lega sekali akhirnya berada di warung makan. Sudah
sedari tadi perutku meronta-ronta karena kelaparan.
Akhirnya
kita masuk dan mengambil tempat duduk. Aku melihat-lihat sekitarku.
“ramai
sekali hari ini”, gumamku.
“eh iya,
kakak yang traktir ya? Hehe” godaku.
“idih,
lagaknya. Emangnya kamu pernah nraktir kakak?. Kan emang kakak yang selalu
nraktir kamu, dik. Haha. Yaudah kakak pesan makanan dulu ya”, sambil mencubit
pipiku.
“kakak ih,
sakit tau”, jawabku sambil mengelus pipiku yang sakit.
Walaupun aku sudah dewasa begini, tapi kak Bima selalu
saja menganggapku masih seperti anak kecil. Karena kak Bima tidak mau adik
kecilnya berubah karena merasa sudah dewasa. Dia ingin kita bertiga selalu
memiliki rasa sayang yang tidak akan pernah pudar sampai kapanpun walau usia
masing-masing sudah tidak muda lagi. Itulah yang membuat aku semakin sayang
terhadap kakak-kakakku. Mereka adalah pelindungku.
Setelah
memesan makanan, lagi-lagi kakak masih kepo dengan persoalan yang tadi.
“dik, kamu
kenapa sih tadi? Cerita dong. Kakak janji deh ngga bakal bilang sama siapapun.
Janji jari kelingking”, kakak meyodorkan jari kelingkingnya.
“kakakku
yang ganteng, yang baik hati dan tidak sombong. Bintang ngga kenapa-kenapa kok.
Kakak kepo ih” sambil tersenyum berusaha menyembunyikan kesedihan yang ada dan
melakukan janji jari kelingking.
“Bintang
ngga seru ah. Kakak tau kalau kamu lagi bohong sama kakak. Bete ah sama
Bintang”, kak Bima memalingkan muka.
“yaelah,
kakak dikit-dikit mah ngambek. Gini lho kak, Bintang lagi kangen aja sama
kalian berdua. Bintang ingin quality time yang pernah kita buat dulu tuh
terlaksana lagi. Tapi, malah cuma kita berdua aja yang masih
menyempatkannya.”
“sayang,
dengerin kakak ya. Bukan karena kak Billy ngga mau meyempatkan waktunya untuk
kita, hanya saja mungkin pekerjaan kak Billy sedang menumpuk. Kak Billy kerja
kan buat kita juga. Iya kan? Yang penting, kakak masih selalu nyempetin waktu
buat adik kecil kakak yang ngegemesin ini nih. Hehe”.
“hm, iya deh
iya”, aku memasang muka murung.
“udah dong,
jangan murung gitu. Pasti ada saat-saat yang indah untuk kita kumpul lagi
seperti dulu. Bintang yang sabar ya,” sambil memelukku dari samping.
Tak lama
kemudian, pesanan kami datang. Kami berdua makan dengan lahapnya sambil
mengenang masa-masa indah kita bertiga dulu. Setelah puas makan dan
bercengkrama, kami bergegas pulang.
Sesampainya dirumah, aku terkejut bukan kepalang. Orang
yang sedari tadi kita gosipkan di warung makan ternyata sudah sedari tadi
menunggu kepulangan kita berdua.
“kakak !”,
teriakku dan akupun langsung berlari memeluk kak Billy.
“kakak kapan
datang? Kok ngga ngasih tau? Bintang kangen banget”, aku memeluk kak Billy
erat-erat.
“hm, adik
kecil kesayangan kakak yang satu ini ternyata punya rasa kangen juga ya? Kirain
cuma kangen ke pacarnya doang", godanya.
“kakak
sebenernya sudah pulang dari siang tadi. Kakak sengaja ngga ngasih tau kalian.
Karena kalian pasti masih bersenang-senang diluar,” kakak memeluk dan mencium
keningku.
“kakak jahat
ih”, jawabku sewot.
“kok marah?
Yaudah sini. Kakak juga kangen banget sama kalian”, kak Billy memeluk aku dan
kak Bima.
“oh iya, apa
kakak bawa oleh-oleh untuk kita?”, tanyaku.
“bawa kok.
Coba aja lihat di meja makan.” Aku langsung berlari menuju meja makan.
Aku tidak menyangka. Kakak membawakan
makanan favoritku. Aku langsung kembali ke ruang keluarga. Kak Billy, kak Bima
dan pengasuhku ternyata diam-diam sudah menyiapkan kejutan istimewa buatku.
Mereka memberiku kejutan kue ulang tahun dan beberapa hadiah istimewa untukku.
Ingin menangis rasanya. Aku benar-benar tidak menyangka kalau kakak-kakakku dan
pengasuhku masih ingat dengan hari ulang tahunku.
“oh my God”.
Aku pun menangis dengan penuh rasa bahagia.
“make a wish
dong sebelum tiup lilinnya”, pinta kak Billy.
Aku
memejamkan mata untuk meminta beberapa permohonan atas usiaku sekarang
ini.
“ungkapin
dong dik doa-doanya, kita kan pengen tau”, ucap kak Bima.
“kakak kepo
ih”, ucapku sambil ku julurkan lidah. Aku melanjutkan permohonanku.
Harapanku di
hari ulang tahun sekarang ini adalah aku bisa berkumpul lagi dengan keluargaku
yang utuh. Aku benar-benar merindukan mereka. Semoga kakak-kakak dan bibikku
selalu diberi kesehatan untuk selalu ada bersamaku di setiap waktu dan diberi
kelancaran atas apapun yang mereka lakukan. Amiin.
“yuk, tiup
lilinnya, keburu lilinnya abis lho”, kak Bima menggodaku. Ku tiup lilin-lilin
yang hampir habis itu dan memeluk mereka dengan berlinangan airmata bahagia.
“kak, bik,
terima kasih untuk semuanya ya. Makasih udah mau ngerawat Bintang, udah
susah payah biayain Bintang. Bintang janji ngga bakal ngecewain kalian. Bintang
sayang sama kalian semua.”
“kita semua
juga sayang sama non Bintang, betul kan Den?” bibik memelukku dengan erat.
Hari ini merupakan hari yang sangat bahagia bagiku,
sebenarnya. Tapi, kebahagiaan itu kurang lengkap tanpa adanya mama dan papa
disini. Mereka sama sekali tidak memberiku ucapan selamat, atau mereka memang
lupa dengan hari ulang tahunku. Ataukah memang mereka sudah tidak peduli lagi
denganku. Tak ada kabar apapun tentang mereka.
“oh God,
thanks a lot for today. But where are them? I miss you so much mom, dad. Apakah
kalian tidak merindukan aku? Ma, Pa, pulanglah”. Aku menangis dalam dekapan
malam yang sunyi sembari melihat bintang-bintang diangkasa, berharap Tuhan akan
mengabulkan semua doa yang telah aku panjatkan.
***