Rabu, 11 Oktober 2017

Harapan Bintang


Tidak disangka-sangka jika hari yang begitu cerah akan turun hujan begitu derasnya. Aku tak berbekal apapun dari rumah. Hanya berbekal tas yang berisi Handphone, powerbank dan earphone serta  sneakers  kumel yang selalu menemani langkahku kemanapun aku pergi. Aku melihat jam  ditangan kiriku, ternyata sudah menunjukkan pukul setengah enam malam. Aku masih terduduk manis di bangku warung depan kampusku. Menunggu jemputan yang dari tadi tak kunjung terlihat. Aku merasa hari ini adalah hari yang terburuk dalam sejarah hidupku. Ini adalah pertama kalinya aku diberi cuaca palsu oleh Bumi, setengah jam  menunggu dengan rasa kedinginan karena hembusan angin yang begitu kencang, handphone lowbatt dan sendirian di depan warung yang tutup. Tak lama kemudian  sebuah mobil menepi di depan warung. Kakakku turun dari mobil dengan membawakan payung untukku.
”Bi, maafin kakak ya. Kakak terlambat jemput kamu.” Kak Bima meraih tanganku.
“iya kak gapapa.” Jawabku sambil masuk kedalam mobil.
            Bintang. Itulah namaku. Kakak-kakak dan teman-temanku lebih senang memanggilku dengan sebutan “Bi”. Aku memiliki dua orang kakak laki-laki. Billy adalah kakak pertamaku dan Bima adalah kakak keduaku. Kami bertiga memiliki nama depan yang sama, yakni  berawalan huruf B. Bukan berarti kami adalah anak kembar. Umur kami hanya selisih dua tahun. Kak Billy adalah seorang manager di sebuah perusahaan. Kak Bima adalah seorang mahasiswa yang sedang menempuh semester akhir sedangkan aku masih menempuh semester 4. Aku dan Kak Bima tidak kuliah di universitas yang sama. Kami tinggal bertiga dengan ditemani seorang pembantu sekaligus pengasuh yang sedari kecil sudah menjadi pengasuhku dirumah. Papa dan mama sudah lama berpisah. Diantara kami bertiga, tidak ada seorang pun yang ikut dengan mama ataupun papa. Melainkan kami tinggal di rumah yang kak Billy beli waktu itu. Sekarang, Kak Billy adalah kepala keluarga kami. Mama dan papa sibuk dengan urusan masing-masing. Maka dari itu, aku sejak kecil sudah dibawah asuhan pengasuh dan kedua kakakku. 
Seperti biasanya, kak Bima senang sekali mengejutkanku ketika aku sedang melamun. 
“Bi” dengan menepuk pundakku. “kamu kenapa sayang? Murung gitu mukanya? Kamu galau? Atau kamu habis diputusin pacar? hehe” goda kak Bima.
Aku menoleh ke arah kak Bima, “kakak apa’an sih? Selalu deh. Ngga kenapa-kenapa kok. Hm, Kak, makan dulu yuk. Laper nih.” Aku mengalihkan pembicaraan.
“hmm, tuh kan mengalihkan pembicaraan. Yasudah, kita makan. Kakak juga laper. Kita ke tempat makan biasanya aja ya.” Kak Bima menawarkan.
“hm, iya deh.” Aku mengiyakan.
         Disepanjang perjalanan, aku hanya melamun, melamun dan melamun. Ketika berhenti di depan lampu merah, aku melihat seorang bapak tua dengan menggunakan plastik sebagai tudung kepala sedang menggandeng anak perempuannya dibawah derasnya hujan menjajakan dagangannya kepada setiap pengendara. Aku tertegun melihatnya. Aku iri dengan anak perempuan itu. Aku disini tumbuh hanya dengan kedua kakakku dan pengasuhku tanpa adanya mama dan papa disisiku. Papa dan mama tak pernah menjengukku. Hanya sekedar menanyakan kabar lewat telepon Kak Billy.
“beruntung banget ya gadis kecil itu. Masih bisa kumpul dengan keluarganya, walaupun hanya dengan seorang ayah saja.” aku bergumam dan menyeka  airmata yang mengalir di pipi.
“Bi, kamu gapapa kan?” kakak mengejutkanku lagi.
Aku menoleh ke arah kakakku dengan air mata yang masih membekas di pipi, “hm, gapapa kok kak. Kak, udah lampu hijau tuh”, aku menyongsongkan senyum dihadapan kakakku. Kak Bima segera melajukan mobilnya.
“Dik, kamu kenapa? Cerita dong ke kakak. Tumben banget kamu seperti ini. Ngga biasanya lho kamu begini. Ada apa? Hm?”. Kak Bima masih terus saja ingin tahu.
“Nah itu warungnya. Cepetan minggir kak, aku udah laper banget nih.” Aku benar-benar tidak ingin menjawab pertanyaan kakakku.
“maafin Bintang ya kak”, Gumamku dalam hati.
           Aku adalah tipe orang yang tidak begitu terbuka tentang masalah apapun. Hanya saja jika dalam keadaan terdesak dan aku tidak sanggup menyelesaikannya, barulah aku meminta pendapat kakakku agar permasalahannya cepat terselesaikan. Aku hanya tidak ingin menjadi beban bagi mereka semua selagi aku masih bisa menyelesaikannya sendiri.
“yeay, makan makan.” Ucapku. Aku lega sekali akhirnya berada di warung makan. Sudah  sedari tadi perutku meronta-ronta  karena kelaparan.
Akhirnya kita masuk dan mengambil tempat duduk. Aku melihat-lihat sekitarku.
“ramai sekali hari ini”, gumamku.
“eh iya, kakak yang traktir ya? Hehe” godaku.
“idih, lagaknya. Emangnya kamu pernah nraktir kakak?. Kan emang kakak yang selalu nraktir kamu, dik. Haha. Yaudah kakak pesan makanan dulu ya”, sambil mencubit pipiku.
“kakak ih, sakit tau”, jawabku sambil mengelus pipiku yang sakit. 
        Walaupun aku sudah dewasa begini, tapi kak Bima selalu saja menganggapku masih seperti anak kecil. Karena kak Bima tidak mau adik kecilnya berubah karena merasa sudah dewasa. Dia ingin kita bertiga selalu memiliki rasa sayang yang tidak akan pernah pudar sampai kapanpun walau usia masing-masing sudah tidak muda lagi. Itulah yang membuat aku semakin sayang terhadap kakak-kakakku. Mereka adalah pelindungku.
Setelah memesan makanan, lagi-lagi kakak masih kepo dengan persoalan yang tadi.
“dik, kamu kenapa sih tadi? Cerita dong. Kakak janji deh ngga bakal bilang sama siapapun. Janji jari kelingking”, kakak meyodorkan jari kelingkingnya.
“kakakku yang ganteng, yang baik hati dan tidak sombong. Bintang ngga kenapa-kenapa kok. Kakak kepo ih” sambil tersenyum berusaha menyembunyikan kesedihan yang ada dan melakukan janji jari kelingking.
“Bintang ngga seru ah. Kakak tau kalau kamu lagi bohong sama kakak. Bete ah sama Bintang”, kak Bima memalingkan muka.
“yaelah, kakak dikit-dikit mah ngambek. Gini lho kak, Bintang lagi kangen aja sama kalian berdua. Bintang ingin quality time yang pernah kita buat dulu tuh terlaksana lagi. Tapi, malah cuma kita berdua aja yang masih menyempatkannya.” 
“sayang, dengerin kakak ya. Bukan karena kak Billy ngga mau meyempatkan waktunya untuk kita, hanya saja mungkin pekerjaan kak Billy sedang menumpuk. Kak Billy kerja kan buat kita juga. Iya kan? Yang penting, kakak masih selalu nyempetin waktu buat adik kecil kakak yang ngegemesin ini nih. Hehe”.
“hm, iya deh iya”, aku memasang muka murung.
“udah dong, jangan murung gitu. Pasti ada saat-saat yang indah untuk kita kumpul lagi seperti dulu. Bintang yang sabar ya,” sambil memelukku dari samping.
Tak lama kemudian, pesanan kami datang. Kami berdua makan dengan lahapnya sambil mengenang masa-masa indah kita bertiga dulu. Setelah puas makan dan bercengkrama, kami bergegas pulang.
       Sesampainya dirumah, aku terkejut bukan kepalang. Orang yang sedari tadi kita gosipkan di warung makan ternyata sudah sedari tadi menunggu kepulangan kita berdua.
“kakak !”, teriakku dan akupun langsung berlari memeluk kak Billy. 
“kakak kapan datang? Kok ngga ngasih tau? Bintang kangen banget”, aku memeluk kak Billy erat-erat.
“hm, adik kecil kesayangan kakak yang satu ini ternyata punya rasa kangen juga ya? Kirain cuma kangen ke pacarnya doang", godanya. 
“kakak sebenernya sudah pulang dari siang tadi. Kakak sengaja ngga ngasih tau kalian. Karena kalian pasti masih bersenang-senang diluar,” kakak memeluk dan mencium keningku. 
“kakak jahat ih”, jawabku sewot. 
“kok marah? Yaudah sini. Kakak juga kangen banget sama kalian”, kak Billy memeluk aku dan kak Bima.
“oh iya, apa kakak bawa oleh-oleh untuk kita?”, tanyaku.
“bawa kok. Coba aja lihat di meja makan.” Aku langsung berlari menuju meja makan.
             Aku tidak menyangka. Kakak membawakan makanan favoritku. Aku langsung kembali ke ruang keluarga. Kak Billy, kak Bima dan pengasuhku ternyata diam-diam sudah menyiapkan kejutan istimewa buatku. Mereka memberiku kejutan kue ulang tahun dan beberapa hadiah istimewa untukku. Ingin menangis rasanya. Aku benar-benar tidak menyangka kalau kakak-kakakku dan pengasuhku masih ingat dengan hari ulang tahunku. 
“oh my God”. Aku pun menangis dengan penuh rasa bahagia.
“make a wish dong sebelum tiup lilinnya”, pinta kak Billy.
Aku memejamkan mata untuk meminta beberapa permohonan atas usiaku sekarang ini. 
“ungkapin dong dik doa-doanya, kita kan pengen tau”, ucap kak Bima.
“kakak kepo ih”, ucapku sambil ku julurkan lidah. Aku melanjutkan permohonanku.
Harapanku di hari ulang tahun sekarang ini adalah aku bisa berkumpul lagi dengan keluargaku yang utuh. Aku benar-benar merindukan mereka. Semoga kakak-kakak dan bibikku selalu diberi kesehatan untuk selalu ada bersamaku di setiap waktu dan diberi kelancaran atas apapun yang mereka lakukan. Amiin.
“yuk, tiup lilinnya, keburu lilinnya abis lho”, kak Bima menggodaku. Ku tiup lilin-lilin yang hampir habis itu dan memeluk mereka dengan berlinangan airmata bahagia.
“kak, bik,  terima kasih untuk semuanya ya. Makasih udah mau ngerawat Bintang, udah susah payah biayain Bintang. Bintang janji ngga bakal ngecewain kalian. Bintang sayang sama kalian semua.”
“kita semua juga sayang sama non Bintang, betul kan Den?” bibik memelukku dengan erat.
          Hari ini merupakan hari yang sangat bahagia bagiku, sebenarnya. Tapi, kebahagiaan itu kurang lengkap tanpa adanya mama dan papa disini. Mereka sama sekali tidak memberiku ucapan selamat, atau mereka memang lupa dengan hari ulang tahunku. Ataukah memang mereka sudah tidak peduli lagi denganku. Tak ada kabar apapun tentang mereka.
“oh God, thanks a lot for today. But where are them? I miss you so much mom, dad. Apakah kalian tidak merindukan aku? Ma, Pa, pulanglah”. Aku menangis dalam dekapan malam yang sunyi sembari melihat bintang-bintang diangkasa, berharap Tuhan akan mengabulkan semua doa yang telah aku panjatkan.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

My First Assignment of Journalism Lesson

OSCAR (Orientasi Studi Cinta Almamater) 2017 di Kampus Cinta             Jombang – Kegiatan Orientasi Studi Cinta Almamater (OSCAR) Uni...